Jumat, 05 Juli 2013

SELAGI MUDA, BERHENTILAH MENJADI PENONTON



Suatu kali saya melihat ayah dan saudara saya sedang menonton pertandingan bola. Ketika yang dijagokan malah kalah dan kebobolan gol, ayah dan kakak saya marah-marah dan keki sama si pemain, dan tatkala yang dijagokannya menang , mereka ikut ramai menyoraki dan senang.
Saya cukup geleng-geleng kepala melihatnya , saya fikir, coba kalau mereka yang bermain dilapangan pasti ga semudah itu berkomentar.hehehe
namun, hal diatas merupakan ilustrasi dari kehidupan kita..

Diantara kita, terutama para pemudanya, senang sekali menjadi penonton manusia dan komentator ulung. Ketika kita melihat fulan sukses dan mampu berkarya, kita kan berdecak kagum padanya, menyayikan namanya dalam obrolan-obrolan, berharap padanya dan menjadi lebay dengannya. Ataupun, tatkala kita melihat manusia yang dalam pandangan kita dia melakukan kesalahan, kita dengan mudah mencelanya, membongkar aib-abnya atau bahkan mem-post dan membeberkannya didua dunia yaitu maya dan nyata.

Tak pernahkah kita bertanya , berkata dan berfikir ? sudah sejauh apa waktu ini kita habiskan, sudah sejauh mana kita melakukan perjalanan, sudah sejauh mana kita memikirkan strategi , sudah sejauh mana kita berlatih. Semuanya untuk mencapai GOAL yaitu kebahagiaan didunia akhirat yang Finalnya adalah mendapat Jannah dan melihat Wajah-Nya..


Hal yang paling membuat hati miris adalah melihat orang yang bertahan dengan keadaannya, merasa bersyukur menerima apa adanya diri tanpa mau berusaha,
Saya rasa tak bisa dikatakan syukur ketika sebenarnya kita mampu berbuat lebih untuk kebaikan diri namun kita tak mau melakukannya , meski kita bisa membuat yang lebih baik.

membaca catatan sejarah tentang bagaimana kaum salafusshalih berjuang dalam hidupnya , tentu tak akan mungkin hal itu dapat kita tiru.

Bagaimana semangat mereka dalam belajar, dalam menulis, dalam berkarya . bahkan diceritakan ada seorang Ulama dari Andalusia yang berjalan kaki ke Baghdad untuk bertemu dengan Imam Ahmad dan berguru dengannya, dan anda tahu ? sang ulama tersebut harus menyamar sebagai pengemis tatkala belajar dengan Imam Ahmad, dikarnakan ketika itu Imam Ahmad sedang dalam masa diasingkan dan tak boleh mengajar karena beliau menolak kedzaliman penguasa yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah Mahluk.

Lihat kawan, betapa besarnya semangat kaum terdahulu dalam meraih ilmu dan kemuliaan. Waktu-waktunya adalah kebermanfaatan. Berbeda kiranya dengan diri kita, yang merasa berat tatkala harus berkorban untuk meraih ilmu ,meski pengorbanan kita tak ada seujung kuku dari pengorbanan para manusia mulia terdahulu..
Maka pantaslah nama mereka terukir indah dalam sejarah kehidupan manusia, harum namanya sampai akhir zaman dan pula tak habs ibrahnya kita ambil dan kita renungi…

Kawan, hari ini akan menjadi sejarah kita esok hari, dan sejarah yang terukir itu akan menjadi saksi sejauh mana kita berkorban dan berpayah untuk meraih kemuliaan.

Kalau kita isi hari-hari hanya sebagai penonton, lalu kapan kita akan bermain dan memenangkan Goal?
Ah ayolah, kita bisa, kita mampu…hanya butuh lebih banyak berkorban waktu dan pikiran serta keikhlasan kawan.

Duduk dikursi penonton memang enak (sekarang) : kita berdecak kagum pada si A dan pada si B yang telah menuai hasil dan memanangkan goal. Namun, tatkala pertandingan telah selesai maka kita akan kembali kerumah dalam keadaan yang sama seperti ketika kita berangkat ,sementara orang yang kita tonton membawa medali dan sejuta kekaguman, jadi mau jadi yang mana?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar